Hati sebagai Pondasi Berfilsafat

Mempelajari, mengkaji dan mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan sangat penting untuk dilandasi dengan filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang rentang sejarah hingga sekarang besar karena sumbangsih filsafat. Karena hal tersebutlah filsafat menjadi ibu bagi lahirnya banyak rumpun dan cabang keilmuan yang sekarang ada termasuk di bidang pendidikan. Problematikanya adalah terdapat aliran-aliran filsafat yang memposisikan filsafat terlampau jauh dari batas toleransi perangkat utamanya. Perangkat utama filsafat adalah berpikir. Meski berpikir adalah pembeda Manusia dengan makhluk Tuhan lainnya,dan menjadi keunggulan. Tetapi kapasitas berpikir manusia berbatas.

Jika ilmu pengetahuan empiris, maka empiris bergantung ruang dan waktu. Jika empiris observable, maka sangat kecil peluangnya satu perangkat observasi mampu menggali seluruh dimensi observee. Jika metafisika menjadi obyek kajian, satu obyek fisik memiliki obyek makna yang beragam bergantung konteks, ruang dan waktu.Melihat hal tersebut, jelas bahwa kapasitas berfikir manusia berbatas. Belum lagi jika ilmu pengetahuan dilihat dari sisi pragmatisme, kajian dan pengembangan ilmu pengetahuan maka parameter yang digunakan adalah scope pragmatisnya baik secara individual maupun secara luas.

Pada sisi pragmatisme filsafat, ruang dunia telah menjadi banyak pertimbangan para filosof. Akan tetapi ruang lain banyak dilupakan oleh para filosof yaitu ruang selain dunia. Seakan tidak ada ruang lain, apalagi lorong penghubung ruang dunia dengan ruang lainnya. Saya bersyukur belajar filsafat dengan difasilitasi oleh filosof yang yakin betul bahwa ruang dunia terhubung dengan lorong dan ruang lain. Beliau menggunakan perangkat lain selain berpikir. Beliau menggunakan hati sebagai perangkat kendali berfilsafat. Baca

Imam Ghozali Seorang Filosof (Meski banyak yang tidak setuju tokoh ini disebut filosof) mengkritisi beberapa kajian filsafat yang disebutnya dengan kesesatan dalam buku Tahafut al-Falasifah. Beliau berpandangan dalam buku tersebut bahwa setidaknya terdapat 20 kesesatan filsafat. Beliau membuat argumen-argumen dalam buku ini sebagai anti-tesis terhadap filsafat yang dipahaminya sebagaimana dijelaskan dalam buku yang beliau susun sebelumnya yaitu Maqasid Al falasifah dan Al Munqid min al Dhalal. Hal tersebut menunjukkan resiko tinggi mengembarakan pikir, dengan tanpa ada hati sebagai relnya.

Pragmatisme filsafat untuk orang yang meyakini ruang dunia hanya sesaat adalah perspektif kebermanfaatan berfilsafat untuk kebaikan ruang dunia dan ruang keabadian  di akhirat. Berhenti berfilsafat untuk hal-hal yang mengakibatkan kesesatan di dunia dan akhirat, menghindari bersia-sia mengembarakan pikir hanya untuk kebaikan di dunia saja dan terus berupaya bernalar demi kebermanfaatan di dunia menuju kebahagiaan di akhirat.

Hati sebagai Pondasi Berfilsafat

Mempelajari, mengkaji dan mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan sangat penting untuk dilandasi dengan filsafat. Perkembangan ilmu pengetahu...